Rasulullah saw. pada awalnya menjalani dakwah seorang diri. Berikutnya Allah Swt. memerintahkannya untuk mendakwahkan Islam kepada para saudara terdekatnya dan teman-temannya terdekat pula. Terbentuklah jamaah (kelompok) dibawah pimpinan beliau yang terus melaksanakan dakwah pada penduduk Mekah. Ini semua menggambarkan bahwa dakwah secara berjamaah merupakan salah satu teladan dari Nabi saw. yang harus diikuti.
Realitas juga menunjukkan hal tersebut. Perubahan masyarakat dari masyarakat jahiliyah-masyarakat penuh syirik, beribadah malas, perilakunya jauh dari akhlak Islam, hukum berpihak pada yang kuat, ekonomi penuh dengan riba, keculasan, penipuan, dan kapitalistik; politik penuh dengan kedustaan, kelicikan, dan pemisahan agama dengan negara-menjadi kehidupan Islam-kehidupan tauhid, rajin beribadah, berkepri-badian Islam, hukum berasal dari wahyu Allah Pencipta manusia, ekonomi Islam, dan politik Islam tidak dapat dilakukan seorang diri. Hal ini merupakan kenyataan lemahnya manusia. Karenanya, berdakwah baik secara syar’i maupun realitas baru dapat dilaksanakan dengan sempurna bila dilakukan secara berjamaah. Bagaimanakah bentuk jamaah dakwah tersebut?
Bentuk Jamaah Dakwah: Partai Politik Islam
Di dalam al-Quran Nan Mulia, Allah Swt. memfirmankan:
Ayat ini menunjukkan pada 3 perkara. Perkara pertama, sesungguhnya Allah mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk menegakkan sekelompok umat. Imam Ath Thabary memaknai kata ‘uummatun’ dalam ayat itu sebagai ‘jamaatun’ yang bermakna kelompok (Lihat: Tafsir ath-Thabary, juz 4, hal. 38). Tugas kelompok ini adalah menyeru kepada Islam serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar (Lihat: Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Quran, juz 4, hal. 27). Artinya, kelompok tersebut melakukan dakwah Islam baik dalam segi pemikiran maupun perbuatan. Pernyataan “Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat (waltakum minkum uumatun)” merupakan perintah dari Allah Swt. untuk mendirikan jama’ah minal muslimin, yaitu jamaah/kelompok dari sebagian kalangan kaum muslimin yang terorganisir rapi serta memiliki karakter benar-benar sebagai suatu jamaah. Inilah makna ‘minkum’ dalam ayat tersebut. Imam Jalaluddin Muhammad dan Imam Jalaluddin Abdur Rahman menyebutkan dalam tafsirnya bahwa “min” dalam ayat ini adalah untuk sebagian (lit tab’idh). Sebab menurutnya, perintah dalam ayat ini adalah fardhu kifayah yang tidak dapat dilakukan oleh setiap orang seperti orang yang kurang pengetahuannya (Lihat: Tafsir Jalalain, juz 1, hal. 57). Jadi, ayat ini merupakan perintah untuk menegakkan suatu jamaah dari sebagian kaum muslimin. Sekalipun beliau mengakui ada pendapat yang menyebutkan bahwa “min” di sini adalah min tambahan (za`idah) sehingga maknanya adalah umat Islam secara keseluruhan. Namun, pendapat yang lebih kuat dan mendekati kebenaran adalah “min” dalam arti sebagian sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat itu sendiri (Lihat: Muhammad Abdul Majid al-Khalidi, Qawa’idul Hukmi fil Islam, hal. 205). Selain itu, umat Islam sudah merupakan satu umat tersendiri (misalnya disebut dalam surat Ali Imran [3] ayat 110) sehingga dengan menganut akidah Islam setiap orang sudah menjadi satu umat Islam, sekalipun boleh jadi belum merupakan masyarakat Islam yang hidup dalam sebuah jama’atul muslimin, yakni khilafah islamiyyah. Dalam memaknai ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah hendaklah ada satu kelompok (firqah) dari kalangan umat Islam ini untuk melakukan perkara yang dituntut tadi sekalipun melaksanakan perbuatan tersebut wajib atas setiap individu dari umat sesuai dengan kemampuannya (Lihat: Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, juz 1, hal. 478). Senada dengan ini, Syaikh Muhammad Abduh dalam al-Manar menyatakan bahwa umat dalam ayat ini lebih khusus dibandingkan dengan kata al-Jama’ah. Umat di sini adalah jamaah yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ikatan yang menyatukannya sehingga dengan adanya ikatan tersebut mereka menjadi satu kesatuan kutlah (kelompok) yang lestari. Jelaslah bahwa makna ayat tadi adalah hendaklah ada suatu jamaah dari kalangan kaum muslimin, bukan hendaklah kaum muslimin menjadi suatu jamaah.
Perintah dalam ayat itu untuk mendirikan uumatun (yakni jama’atun) memang menggunakan kata “waltakun” (hendaklah ada). Tetapi, terdapat banyak indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa tuntutan dan perintah tersebut bersifat tegas. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas yang harus dilakukan oleh jamaah tersebut adalah aktivitas yang hukumnya wajib (Ini pendapat jumhur ulama; Lihat: Syarhu Al Asnawi, juz 2, hal. 18 dan 19) seperti dijelaskan di dalam banyak ayat-ayat lain (seperti surat Ali Imran [3]: 110; at-Taubah [9]: 71, 112; al-Hajj [22]: 41). Berdasarkan pemaparan tadi tegas sekali bahwa Allah Swt. mewajibkan kaum muslimin untuk mendirikan kelompok demikian.
Perkara kedua, jamaah yang diperintahkan didirikan dalam ayat itu adalah partai politik. Di dalam ayat itu (Ali Imran [3] : 104) dijelaskan bahwa jamaah yang harus dibentuk itu memiliki 2 tugas, yaitu menyerukan al khair dan amar ma’ruf nahi munkar. Imam Ibnu Katsir memaknai menyeru kepada al-Khair sebagai mengikuti al-Quran dan as-Sunah (Lihat: Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, juz 1, hal. 478). Sementara, Imam Jalaluddin mengartikan al-Khair dalam ayat tersebut dengan al-Islam (Lihat: Tafsir Jalalain, juz 1, hal. 57). Dengan demikian, menyeru kepada al-Khair artinya menyeru atau mendakwahkan Islam secara keseluruhan. Sementara itu, memerintahkan perkara ma’ruf berarti memerintahkan segala perkara yang sesuai dengan Islam dan mencegah yang munkar berarti mencegah segala perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jadi, Allah Swt. dalam ayat tersebut mewajibkan kaum muslimin untuk memiliki kelompok (kelompok) yang mengajak orang untuk menerapkan Islam secara keseluruhan dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan kata lain, ayat itu memerintahkan adanya kelompok yang mengemban dakwah Islam dan melanjutkan kehidupan Islam, yakni memerangi hukum kufur beserta kekuasaannya dan mewujudkan hukum Islam beserta kekuasaannya.
Satu hal yang penting dipahami adalah teks perintah dalam surat Ali Imran [3] ayat 104 tadi —siapapun yang mengetahui bahasa Arab sekalipun hanya sedikit saja akan memahami hal ini— bukanlah perintah untuk melakukan 2 aktivitas tersebut, melainkan perintah untuk mendirikan kelompok yang melakukan 2 kewajiban itu.
Perintah amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat itu bersifat umum. Hal ini disebabkan dengan adanya alif dan lam dalam kata ma’ruf dan munkar (Lihat: Al Baidhawi, Minhajul Wushul fi ‘Ilmil Ushul, juz 2, hal. 61 – 63). Baik pada rakyat biasa ataupun pada penguasa. Padahal, seringkali kejahatan di tengah masyarakat lahir dari kejahatan dan kezlaliman penguasanya. Karenanya tidak mengherankan banyak hadis yang menyinggung persoalan penguasa, di antaranya:
Begitu pula, kemunkaran yang dilakukan penguasa sungguh tidak sebanding dengan kemungkaran seseorang secara individual. Malapetaka yang diakibatkan kemungkaran penguasa sungguh amat dahsyat dalam kehidupan Islam. Lebih dari itu, amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa merupakan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar terpenting dan terbesar pahalanya. Berkaitan dengan persoalan ini, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu ‘Abdillah Thariq bin Syihab Al Bajaly Al Ahmasy ra. bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Nabi saw. padahal ia sudah meletakkan kakinya di atas pelana: ‘Manakah perjuangan yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Mengatakan kebenaran pada penguasa yang menyeleweng (dari Islam).’” (HR. an-Nasa`i)
Dengan demikian, perintah dominan dalam ayat tadi adalah pembentukan jamaah yang aktivitasnya adalah mendakwahkan Islam dan mengoreksi penguasa melalui jalan amar ma’ruf dan nahi munkar. Jama’ah dengan karakteristik demikian tidak mungkin selain partai politik. Sebab kelompok yang terus menerus melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada penguasa adalah hanya partai politik. Bila kelompok yang dimaksud adalah bukan bersifat politik maka kelompok tersebut berarti tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada penguasa, padahal hal tersebut diperintahkan bahkan merupakan amar ma’ruf nahi munkar terpenting. Atau boleh jadi melakukannya tetapi bukan sebagai jama’ah (yang memiliki ikatan dan kepemimpinan) melainkan secara individual atau kerumunan temporer. Padahal, kewajiban tersebut merupakan kewajiban akan adanya jamaah yang melakukan aktivitas tersebut, bukan menegaskan kewajiban aktivitasnya itu sendiri. Jelaslah, perintah itu merupakan kewajiban untuk mendirikan partai politik (Lihat: Taqyuddin an-Nabhaniy, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 98, materi 19).
Selain itu, kewajiban untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya al-Jama’ah (khilafah islamiyyah) tidak mungkin terbentuk tanpa adanya partai demikian. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang disepakati para ulama ma la yatimmul wajibu illa bihi fa huwa wajib (suatu kewajiban yang tidak sempurna terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib adanya), maka partai politik Islam itu wajib keberadaannya. Tentu saja, partai yang dimaksud sesuai dengan isi ayat itu, yaitu partai politik Islam yang dasarnya Islam, ide-idenya Islam (termasuk tidak menyerukan demokrasi, HAM, sinkretisme, dan menentang semua ide yang bertentangan dengan Islam), metodenya Islam (termasuk tidak turut serta dalam pemerintahan dan parlemen kufur), tujuannya menegakkan hukum Islam, ideologinya Islam, anggotanya muslim, dan dalam setiap pemikiran dan geraknya terikat pada al-Quran dan as-Sunah.
Adapun penamaan kelompok dimaksud dengan partai (dalam bahasa Arab nya hizb) merupakan perkara alami. Allah Swt. sendiri menggunakan nama seperti itu di dalam al-Quran. Dia Swt. menamai orang-orang yang menjadikanNya sebagai wali dengan nama hizb (partai). FirmanNya:
Selain partai Allah, ada pula partai syaithan. Allah Swt. menegaskan:
Partai syaithan inilah yang digambarkan Allah sebagai “Tiap-tiap partai bangga dengan apa yang ada pada mereka” dalam surat ar-Rum [30]: 32.
Berdasarkan hal di atas menjadi terang bahwa jamaah dakwah yang diwajibkan didirikan tersebut haruslah berbentuk partai politik Islam.
Karakter dan Aktivitas Jamaah Dakwah
Berdasarkan pemaparan sekilas di atas, dapat disebutkan bahwa di antara karakter jamaah dakwah itu adalah:
Ringkasnya, di antara kewajiban (yang menjadi karakternya) jamaah dakwah yang benar-benar berupaya untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah menetapkan tujuan secara fokus, memerinci metode (thariqah) untuk mencapainya, mengadopsi hukum-hukum syara, pendapat dan pemikiran yang menjelaskan tentang institusi negara, strukturnya, sistem yang akan diberlakukannya (sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial), dan hubungan antar bangsa dan negara. Semua ini digali dari contoh Rasulullah saw. saat mendirikan negara Madinah.
Adapun aktivitas-aktivitas jamaah dakwah yang dicontohkan Rasulullah (lihat: An Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah dan Sirah Ibnu Hisyam) adalah:
Merujuk pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa setiap muslim berkewajiban berdakwah serta mendukung bahkan bergabung dengan jamaah dakwah seperti tadi untuk bersama-sama menegakkan Islam di muka bumi ini. Namun, semua ini kembali kepada masing-masing. Yang jelas, pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. ada pada pundak sendiri-sendiri. Selain itu, Allah Swt. lewat lisan Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan bahwa akan selalu ada kelompok dari umat Islam yang senantiasa membela dan berjuang untuk Islam. Dan mereka menang! Jadi, seseorang ikut serta atau tidak dalam perjuangan Islam, pasti ada orang-orang lain yang memperjuangkannya![]
Realitas juga menunjukkan hal tersebut. Perubahan masyarakat dari masyarakat jahiliyah-masyarakat penuh syirik, beribadah malas, perilakunya jauh dari akhlak Islam, hukum berpihak pada yang kuat, ekonomi penuh dengan riba, keculasan, penipuan, dan kapitalistik; politik penuh dengan kedustaan, kelicikan, dan pemisahan agama dengan negara-menjadi kehidupan Islam-kehidupan tauhid, rajin beribadah, berkepri-badian Islam, hukum berasal dari wahyu Allah Pencipta manusia, ekonomi Islam, dan politik Islam tidak dapat dilakukan seorang diri. Hal ini merupakan kenyataan lemahnya manusia. Karenanya, berdakwah baik secara syar’i maupun realitas baru dapat dilaksanakan dengan sempurna bila dilakukan secara berjamaah. Bagaimanakah bentuk jamaah dakwah tersebut?
Bentuk Jamaah Dakwah: Partai Politik Islam
Di dalam al-Quran Nan Mulia, Allah Swt. memfirmankan:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada al-Khair (Islam), menyuruh pada perkara ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran [3]: 104)
Ayat ini menunjukkan pada 3 perkara. Perkara pertama, sesungguhnya Allah mewajibkan seluruh kaum muslimin untuk menegakkan sekelompok umat. Imam Ath Thabary memaknai kata ‘uummatun’ dalam ayat itu sebagai ‘jamaatun’ yang bermakna kelompok (Lihat: Tafsir ath-Thabary, juz 4, hal. 38). Tugas kelompok ini adalah menyeru kepada Islam serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar (Lihat: Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Quran, juz 4, hal. 27). Artinya, kelompok tersebut melakukan dakwah Islam baik dalam segi pemikiran maupun perbuatan. Pernyataan “Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat (waltakum minkum uumatun)” merupakan perintah dari Allah Swt. untuk mendirikan jama’ah minal muslimin, yaitu jamaah/kelompok dari sebagian kalangan kaum muslimin yang terorganisir rapi serta memiliki karakter benar-benar sebagai suatu jamaah. Inilah makna ‘minkum’ dalam ayat tersebut. Imam Jalaluddin Muhammad dan Imam Jalaluddin Abdur Rahman menyebutkan dalam tafsirnya bahwa “min” dalam ayat ini adalah untuk sebagian (lit tab’idh). Sebab menurutnya, perintah dalam ayat ini adalah fardhu kifayah yang tidak dapat dilakukan oleh setiap orang seperti orang yang kurang pengetahuannya (Lihat: Tafsir Jalalain, juz 1, hal. 57). Jadi, ayat ini merupakan perintah untuk menegakkan suatu jamaah dari sebagian kaum muslimin. Sekalipun beliau mengakui ada pendapat yang menyebutkan bahwa “min” di sini adalah min tambahan (za`idah) sehingga maknanya adalah umat Islam secara keseluruhan. Namun, pendapat yang lebih kuat dan mendekati kebenaran adalah “min” dalam arti sebagian sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat itu sendiri (Lihat: Muhammad Abdul Majid al-Khalidi, Qawa’idul Hukmi fil Islam, hal. 205). Selain itu, umat Islam sudah merupakan satu umat tersendiri (misalnya disebut dalam surat Ali Imran [3] ayat 110) sehingga dengan menganut akidah Islam setiap orang sudah menjadi satu umat Islam, sekalipun boleh jadi belum merupakan masyarakat Islam yang hidup dalam sebuah jama’atul muslimin, yakni khilafah islamiyyah. Dalam memaknai ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah hendaklah ada satu kelompok (firqah) dari kalangan umat Islam ini untuk melakukan perkara yang dituntut tadi sekalipun melaksanakan perbuatan tersebut wajib atas setiap individu dari umat sesuai dengan kemampuannya (Lihat: Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, juz 1, hal. 478). Senada dengan ini, Syaikh Muhammad Abduh dalam al-Manar menyatakan bahwa umat dalam ayat ini lebih khusus dibandingkan dengan kata al-Jama’ah. Umat di sini adalah jamaah yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ikatan yang menyatukannya sehingga dengan adanya ikatan tersebut mereka menjadi satu kesatuan kutlah (kelompok) yang lestari. Jelaslah bahwa makna ayat tadi adalah hendaklah ada suatu jamaah dari kalangan kaum muslimin, bukan hendaklah kaum muslimin menjadi suatu jamaah.
Perintah dalam ayat itu untuk mendirikan uumatun (yakni jama’atun) memang menggunakan kata “waltakun” (hendaklah ada). Tetapi, terdapat banyak indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa tuntutan dan perintah tersebut bersifat tegas. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas yang harus dilakukan oleh jamaah tersebut adalah aktivitas yang hukumnya wajib (Ini pendapat jumhur ulama; Lihat: Syarhu Al Asnawi, juz 2, hal. 18 dan 19) seperti dijelaskan di dalam banyak ayat-ayat lain (seperti surat Ali Imran [3]: 110; at-Taubah [9]: 71, 112; al-Hajj [22]: 41). Berdasarkan pemaparan tadi tegas sekali bahwa Allah Swt. mewajibkan kaum muslimin untuk mendirikan kelompok demikian.
Perkara kedua, jamaah yang diperintahkan didirikan dalam ayat itu adalah partai politik. Di dalam ayat itu (Ali Imran [3] : 104) dijelaskan bahwa jamaah yang harus dibentuk itu memiliki 2 tugas, yaitu menyerukan al khair dan amar ma’ruf nahi munkar. Imam Ibnu Katsir memaknai menyeru kepada al-Khair sebagai mengikuti al-Quran dan as-Sunah (Lihat: Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, juz 1, hal. 478). Sementara, Imam Jalaluddin mengartikan al-Khair dalam ayat tersebut dengan al-Islam (Lihat: Tafsir Jalalain, juz 1, hal. 57). Dengan demikian, menyeru kepada al-Khair artinya menyeru atau mendakwahkan Islam secara keseluruhan. Sementara itu, memerintahkan perkara ma’ruf berarti memerintahkan segala perkara yang sesuai dengan Islam dan mencegah yang munkar berarti mencegah segala perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jadi, Allah Swt. dalam ayat tersebut mewajibkan kaum muslimin untuk memiliki kelompok (kelompok) yang mengajak orang untuk menerapkan Islam secara keseluruhan dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan kata lain, ayat itu memerintahkan adanya kelompok yang mengemban dakwah Islam dan melanjutkan kehidupan Islam, yakni memerangi hukum kufur beserta kekuasaannya dan mewujudkan hukum Islam beserta kekuasaannya.
Satu hal yang penting dipahami adalah teks perintah dalam surat Ali Imran [3] ayat 104 tadi —siapapun yang mengetahui bahasa Arab sekalipun hanya sedikit saja akan memahami hal ini— bukanlah perintah untuk melakukan 2 aktivitas tersebut, melainkan perintah untuk mendirikan kelompok yang melakukan 2 kewajiban itu.
Perintah amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat itu bersifat umum. Hal ini disebabkan dengan adanya alif dan lam dalam kata ma’ruf dan munkar (Lihat: Al Baidhawi, Minhajul Wushul fi ‘Ilmil Ushul, juz 2, hal. 61 – 63). Baik pada rakyat biasa ataupun pada penguasa. Padahal, seringkali kejahatan di tengah masyarakat lahir dari kejahatan dan kezlaliman penguasanya. Karenanya tidak mengherankan banyak hadis yang menyinggung persoalan penguasa, di antaranya:
إِنَّ شَرَّ الرِّعَـاءِ الْحُطَمَـةُ فَإِيَّـاكَ اَنْ تَكُوْنَ مِنْهُمْ
“Sesungguhnya pemimpin yang paling jahat adalah pemimpin yang lalai, maka jangan sampai kamu termasuk golongan mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu pula, kemunkaran yang dilakukan penguasa sungguh tidak sebanding dengan kemungkaran seseorang secara individual. Malapetaka yang diakibatkan kemungkaran penguasa sungguh amat dahsyat dalam kehidupan Islam. Lebih dari itu, amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa merupakan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar terpenting dan terbesar pahalanya. Berkaitan dengan persoalan ini, Rasulullah saw. bersabda:
أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Berjuang yang paling utama adalah mengatakan keadilan pada penguasa yang menyeleweng (dari Islam)” (HR. Abu Daud dan at-Turmudzi)
Dari Abu ‘Abdillah Thariq bin Syihab Al Bajaly Al Ahmasy ra. bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Nabi saw. padahal ia sudah meletakkan kakinya di atas pelana: ‘Manakah perjuangan yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Mengatakan kebenaran pada penguasa yang menyeleweng (dari Islam).’” (HR. an-Nasa`i)
Dengan demikian, perintah dominan dalam ayat tadi adalah pembentukan jamaah yang aktivitasnya adalah mendakwahkan Islam dan mengoreksi penguasa melalui jalan amar ma’ruf dan nahi munkar. Jama’ah dengan karakteristik demikian tidak mungkin selain partai politik. Sebab kelompok yang terus menerus melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada penguasa adalah hanya partai politik. Bila kelompok yang dimaksud adalah bukan bersifat politik maka kelompok tersebut berarti tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada penguasa, padahal hal tersebut diperintahkan bahkan merupakan amar ma’ruf nahi munkar terpenting. Atau boleh jadi melakukannya tetapi bukan sebagai jama’ah (yang memiliki ikatan dan kepemimpinan) melainkan secara individual atau kerumunan temporer. Padahal, kewajiban tersebut merupakan kewajiban akan adanya jamaah yang melakukan aktivitas tersebut, bukan menegaskan kewajiban aktivitasnya itu sendiri. Jelaslah, perintah itu merupakan kewajiban untuk mendirikan partai politik (Lihat: Taqyuddin an-Nabhaniy, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 98, materi 19).
Selain itu, kewajiban untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya al-Jama’ah (khilafah islamiyyah) tidak mungkin terbentuk tanpa adanya partai demikian. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang disepakati para ulama ma la yatimmul wajibu illa bihi fa huwa wajib (suatu kewajiban yang tidak sempurna terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib adanya), maka partai politik Islam itu wajib keberadaannya. Tentu saja, partai yang dimaksud sesuai dengan isi ayat itu, yaitu partai politik Islam yang dasarnya Islam, ide-idenya Islam (termasuk tidak menyerukan demokrasi, HAM, sinkretisme, dan menentang semua ide yang bertentangan dengan Islam), metodenya Islam (termasuk tidak turut serta dalam pemerintahan dan parlemen kufur), tujuannya menegakkan hukum Islam, ideologinya Islam, anggotanya muslim, dan dalam setiap pemikiran dan geraknya terikat pada al-Quran dan as-Sunah.
Adapun penamaan kelompok dimaksud dengan partai (dalam bahasa Arab nya hizb) merupakan perkara alami. Allah Swt. sendiri menggunakan nama seperti itu di dalam al-Quran. Dia Swt. menamai orang-orang yang menjadikanNya sebagai wali dengan nama hizb (partai). FirmanNya:
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya partai Allah (hizbullah) itulah yang pasti menang” (QS. al-Maidah [5]: 56)
...رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
… Allah meridlai mereka dan mereka pun merasa ridla terhadapNya. Mereka itulah partai Allah (hizbullah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya partai Allah (hizbullah) itulah yang beruntung.” (QS. al-Mujadilah [58]: 22)
Selain partai Allah, ada pula partai syaithan. Allah Swt. menegaskan:
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Syaithan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah partai syaithan (hizbusy syaithan). Ketahuilah bahwa sesungguhnya partai syaithan itulah golongan yang merugi.” (QS. al-Mujadilah [58]: 19)
Partai syaithan inilah yang digambarkan Allah sebagai “Tiap-tiap partai bangga dengan apa yang ada pada mereka” dalam surat ar-Rum [30]: 32.
Berdasarkan hal di atas menjadi terang bahwa jamaah dakwah yang diwajibkan didirikan tersebut haruslah berbentuk partai politik Islam.
Karakter dan Aktivitas Jamaah Dakwah
Berdasarkan pemaparan sekilas di atas, dapat disebutkan bahwa di antara karakter jamaah dakwah itu adalah:
- Tegak di atas akidah Islam dengan penuh keimanan. Artinya, hanya akidah islamlah yang dijadikan sebagai landasan berpikir dan berbuat (qa’idah fikriyah) serta sebagai kepemimpinan berpikir dan ideologisnya (qiyadah fikriyah). Setiap pemikiran, hukum-hukum, dan pendapat yang dikeluarkannya senantiasa didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam. Tidak merujuk selain kepada Islam.
- Berpegang teguh kepada gaya (uslub) al-Quran Nan Mulia serta as-Sunah, dalam membantah pemikiran-pemikiran kufur (baik akidah maupun hukum) yang sedang diterapkan dalam mengatur interaksi antar manusia di tengah masyarakat.
- Menetapkan tujuannya secara fokus serta menetapkan hukum-hukum syara yang berkaitan dengannya secara detail. Karenanya, arah tujuan menjadi terang, tak dapat terpalingkan pada sesuatu yang bukan dituju.
- Jamaah dakwah (kutlah) harus tegak di atas bangunan umat dan upaya penegakkan negara (daulah islamiyyah) sehingga melanjutkan kehidupan Islam sempurna terlaksana. Untuk itu, jamaah dakwah harus tegak atas dasar Islam, memahami unsur-unsur pembentuk masyarakat beserta pondasi-pondasi tempat berpijaknya daulah islamiyyah. Dengan kata lain, jamaah dakwah harus menetapkan pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan Islam yang hendak dijadikan landasan pembangunan umat. Begitu pula hendaklah jamaah tersebut menetapkan hukum-hukum syara tempat tegaknya negara. Sama-sama diketahui, siapa pun yang hendak membuat suatu rumah kecil, misalnya, ia akan membuat rancangan bagi bangunan rumahnya itu. Setelah itu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk membangunnya. Dia pun menghitung-hitung siapa yang akan membangun dan untuk apa bangunan itu. Dipasanglah ledeng air, listrik, dan barangkali telepon. Seusainya bangunan rumah, pindahlah ia ke sana. Berikutnya, mulailah hidup di rumah baru itu, menelaah kondisi sekelilingnya, dan mengenali tetangganya sehingga dapat ditentukan bagaimana cara bergaul dengan masing-masing mereka. Begitu seterusnya. Bila untuk membuat sebuah rumah kecil saja seperti ini, bagaimana lagi untuk mendirikan sebuah negara yang menerapkan Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia.
Ringkasnya, di antara kewajiban (yang menjadi karakternya) jamaah dakwah yang benar-benar berupaya untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah menetapkan tujuan secara fokus, memerinci metode (thariqah) untuk mencapainya, mengadopsi hukum-hukum syara, pendapat dan pemikiran yang menjelaskan tentang institusi negara, strukturnya, sistem yang akan diberlakukannya (sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial), dan hubungan antar bangsa dan negara. Semua ini digali dari contoh Rasulullah saw. saat mendirikan negara Madinah.
Adapun aktivitas-aktivitas jamaah dakwah yang dicontohkan Rasulullah (lihat: An Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah dan Sirah Ibnu Hisyam) adalah:
- Membangun tubuh jamaah dakwah. Rasulullah terus menerus melakukan pembinaan sampai terdapat barisan yang kokoh pejuang Islam. Mereka memiliki akidah Islam, cara berpikirnya Islam, sikap jiwanya Islam, akhlaknya mulia, ibadahnya rajin, ruh jihad dan perjuangan menggelora, semangat dakwah terus menyala, pemahaman dan kepekaan politisnya tinggi. Walhasil, putra-putri umat Islam ditempa dengan Islam sampai terbentuknya pribadi yang shalih sekaligus mushlih. Shalih berarti baik bagi dirinya, dan mushlih berarti dapat menjadikan orang lain shalih.
- Menyiapkan umat untuk turut serta membangun kehidupan Islam. Caranya melakukan pembinaan umum (tatsqif jama’iy) untuk membentuk opini umum terhadap pemahaman-pemahaman Islam yang akan ditegakkan oleh jamaah dakwah, tujuan dan keimanan terhadap Islam serta keyakinan akan nilai-nilainya. Bila ini terjadi, terdapatlah kesatuan visi antara jamaah dakwah dengan umat secara keseluruhan. Ujungnya, umat akan bersama-sama berjuang dengan jamaah dakwah tersebut sekalipun boleh jadi ada di antara umat yang bukan bagian dari jamaah dakwah itu, namun visi dan misinya sama. Begitulah Nabi saw. melakukan pembinaan umum melalui lisan beliau beserta para sahabat binaannya sebelum tegaknya daulah di Madinah.
- Melakukan pergolakan pemikiran (shira’ul fikriy). Artinya, menentang seluruh pemikiran, pemahaman, dan hubungan-hubungan yang bertentangan dengan hukum syara. Rasulullah saw. senantiasa membantah akidah kaum musyrikin, Yahudi dan nasrani, hukum rusak yang diterapkan di masyarakat saat itu, muamalah batil, jual beli yang penuh spekulasi dan eksploitasi, riba yang merajalela, hubungan rusak laki-laki dengan perempuan, dan perkara lainnya. Setelah nampak kebobrokannya beliau menjelaskan bagaimana Islam memandang hal tersebut.
- Melakukan perjuangan politik (kifah siyasiy). Jamaah dakwah merupakan institusi politik yang berupaya untuk menumbangkan institusi negara kufur yang menerapkan hukum kufur lalu merubah dan menggantinya dengan hukum-hukum Islam. Jamaah dakwah senntiasa membongkar aktivitas-aktivitas rusak pemerintah, pengaturan zalim terhadap masyarakat yang dilakukannya, persekongkolannya untuk mengiring umat ke arah murka Allah Swt., serta mengungkap rencana-rencana jahat negara-negara asing kafir terhadap Islam dan kaum muslimin. Semua ini dilakukan dengan tanpa kekerasan, sebab Nabi saw. mencontohkan demikian.
Merujuk pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa setiap muslim berkewajiban berdakwah serta mendukung bahkan bergabung dengan jamaah dakwah seperti tadi untuk bersama-sama menegakkan Islam di muka bumi ini. Namun, semua ini kembali kepada masing-masing. Yang jelas, pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. ada pada pundak sendiri-sendiri. Selain itu, Allah Swt. lewat lisan Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan bahwa akan selalu ada kelompok dari umat Islam yang senantiasa membela dan berjuang untuk Islam. Dan mereka menang! Jadi, seseorang ikut serta atau tidak dalam perjuangan Islam, pasti ada orang-orang lain yang memperjuangkannya![]